Tieta itoe Titut On Rabu, 02 Februari 2011




Sehari Kulayani Sepuluh Tentara


EMA, gadis Cimindi, Cimahi, Bandung ketika itu masih 17 tahun. Gadis ranum itu tinggal bersama orang tuanya yang petani. Kedatangan Jepang di Nusantara tahun 1942 akhirnya sampai juga ke desa Ema. Suatu hari tentara Jepang datang ke rumah Ema karena asrama tentara Jepang berdekatan denganrumah orangtua Ema.

Kedatangan tentara itu tentu saja mengagetkan orangtua Ema. Sebab, ternyata hanya bermaksud mengambil paksa anak gadisnya. Orangtua Ema tidak berdaya karena diancam. Ema lalu dimasukkan ke dalam mobil yang distir oleh bangsanya sendiri. Kemana Ema dibawa? Tak lain ke asrama yugun ianfu di Jalan Simpang, Cimahi. Ketika itu penghuni asrama ada 8 orang. Nama Ema diganti Miyako. Baru tiga hari tinggal di asrama, Miyako
diperiksa dokter dan selanjutnya harus melayani gairah birahi tentara-tentara Jepang. Sehari kadang melayani hingga 10 orang tentara. Umumnya mereka menggunakan kondom yang diperoleh dari atasannya.

Yang mengurus asrama adalah tiga orang Cina, namun yang dia ingat namanya hanya Ke Hang dan Pen Hui. Sedangkan kokinya dua orang Indonesia yakni Utom dan yang perempuan bernama Awat. Menurut Ema, ketiga orang Cina yang mengurus asrama itu sangat baik. Demikian pula kokinya yang merangkap sebagai tukang pel. Sedangkan Awat kebagian memasak untuk para perempuan yugun ianfu.

"Tugas saya hanya melayani tentara Jepang, " papar Ibu Ema yang kini berusia di atas 70 tahun. "Kerjanya dari jam 1 siang sampai jam 5 sore melayani lima orang. Setelah itu mandi dan istirahat, lalu bertugas lagi dari jam 7 malam sampai jam 9 malam. Kesokan harinya begitu lagi. " tambah Ibu Ema.

Menurut yugun ianfu ini, tentara Jepang itu kalau siang berpakaian tentara, kalau malam mengenakan pakaian biasa atau preman. Kebanyakan yang membutuhkan pelayanan dari Miyako ini opsir, tetapi kadangkala di bawah opsir dan sikap mereka kasar. Usai melayani nafsu -nafsu tentara Jepang, Miyako alias Ema diperiksa dokter setiap hari Jumat. Anehnya, diantara pemakai jasa itu ada pula yang sempat memberikan nasihat-nasihat terhadap Ema, namanya Konomorisan.

Setelah beberapa bulan di asrama Jalan Simpang, Ema dipindahkan ke Kalidam yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan Simpang. Tugasnya masih sama, melayani nafsu tentara Jepang. Tak ubahnya barang, tentara yang akan memakai Ema menyodorkan karcis (sebesar kartu domino dan berwarna kecoklat-coklatan).

Di asrama, Ema diberi obat yang warnanya kemerah-merahan. Katanya untuk membersihkan vagina sehabis dipakai. "Kalau ada yang kena penyakit, perempuan itu disuruh pulang ke rumahnya. Katanya sudah apkir. " kata Ema.

Pada hari Minggu Ema boleh libur dan menengok orangtuanya, tapi hanya satu jam. Orangtuanya meskipun kangen tidak bisa menengok Ema karena ketatnya penjagaan asrama oleh Kenpetai. Orang tuanya tidak tahu apa pekerjaan sang anak. Setelah dua tahun pergi dari rumahnya, barulah orang tuanya tahu bahwa anaknya hanya menjadi nyai-nyai Jepang. Karena tak tahan menghadapi kenyataan yang dialami anaknya, maka menangislah orang tua
Ema dan akhirnya sakit-sakitan.

Setelah mendengar kabar bahwa Jepang kalah, semua perempuan yang dijadikan budak nafsu tentara Jepang pulang ke rumah masing-masing, dan asrama yugun ianfu ditutup. Demikian pula Ema, ia kembali ke rumah orang tuanya dengan derita yang tak berkesudahan. Sakit-sakit fisiknya mungkin segera berlalu, akan tetapi luka batin tak tersembuhkan. Orang-orang di kampungnya mencibir, dan mengatakan ia bekas nyai-nyai Jepang. Malu dan luka menyatu.
Ia tidak bersuami hingga sekarang. "Daripada dikatakan bekas nyai-nyai Jepang, maka lebih baik hidup sendiri saja, " pupus ibu Ema. "Hidup ibu sekarang ini menderita. Ikut saudara satu ke saudara lainnya. Adakalanya ada orang yang memberi sekedarnya, " ungkapnya pula.

Yang diharapkan dari Pemerintah Jepang adalah memberikan kompensasi berupa uang tunai. Ia mengaku tidak membenci Pemerintah Jepang dan tentaranya. "Itu ibu anggap takdir. Ibu hanya bisa menerima kenyataan saja, " ucapnya pasrah.






Yang Pertama Dokter



Tak jauh beda dari kisah Ibu Ema, Ny Omoh pun punya liku cerita yang juga memilukan. Berikut ini pemaparannya:
Pada waktu Jepang masuk Indonesia, entah tahun berapa, saya tak ingat lagi. Pokoknya saya baru umur14 tahun. Saya sampai sekarang tinggal di Cibabat, Bandung, depan PLN. Rumah saya banyak pohon kelapa dan lebat buahnya.

Suatu hari lewatlah tentara Jepang bersama temannya naik mobil dan memberikan sepucuk surat kepada orang tua saya. Setelah menerima surat itu saya disuruh menghadap. Tetapi semua orang di rumah tidak berani membuka surat itu karena tak ada yang bisa membaca. Hanya katanya, saya akan dipekerjakan. Setelah saya datang bersama ibu saya, barulah saya
mengetahui isi surat itu saat dibacakan. Isinya, saya diterima bekerja di tempat itu. Saya langsung ditempatkan di asrama yugun ianfu yang terletak di Jalan Simpang, Cimahi, Bandung.

Di asrama itu saya bertemu dengan yang namanya Ema, dan Oma. Katanya saya akan dipekerjakan sebabagi babu.. Pembantu yang mengurus asrama ketiganya laki-laki, Cina . Ketika saya masuk dapur ada dua orang koki bernama Awat dan Uju. Selama kurang lebih enam hari di asrama, saya disuruh taiso (senam).


Kepada koki di dapur saya mencoba bertanya, apa pekerjaan yang diberikan kepada saya. Jawab koki, "Nanti juga akan tahu apa pekerjaanmu. " Saya hanya bisa bertanya-tanya dalam hati, apa gerangan pekerjaan saya.

Tibalah saatnya saya diperiksa oleh dokter, namanya dr Tanaka. Dan saya diberi nama Midori. Saya waktu itu masih gadis. Dr. Tanaka memerkasa bagian tubuh saya yang cukup sensitife. Saat organ tubuh bagian bawah ini dipegang-pegang, saya menjerit karena kesakitan. Ternyata alat senter yang dipegangnya itu dimasukkan ke vagina saya dan mengeluarkan darah. Saya lalu sakit demam.

Ya, dokter Tanaka-lah, orang Jepang pertama yang menggauli saya. Dia tentara Jepang yang merangkap sebagai dokter bagi yugun ianfu dari Butai Keibitai dan asramanya tidak jauh dari asrama yugun ianfu.

Cukup lama saya melayani tamu-tamu tentara Jepang. Saya mulai bekerja pukul dua siang saat mereka pulang dinas hingga enam sore. Setelah itu mereka mandi dan berpakaian biasa. Bila tamu-tamu tentara Jepang itu terlalu banyak, saya tidak bisa melayani lagi. Terlalu lelah. Sanksinya saya dipukuli. Tapi kalau harus terus menerus melayani, saya punya cara sendiri.

Setiap minggu sekali kesehatan saya diperiksa dokter yaitu tiap Jumat. Hidup di asrama yugun ianfu harus mengikuiti peraturan asrama. Rambut saya yang panjang harus dipotong. Keluar asrama untuk menengok orang tua sangat sulit karena tentara Jepang selalu mengontrol asrama yugun ianfu. Setelah agak lama, kami dipindahkan ke Kalidam. Sekitar dua tahun kemudian kami mendengar bahwa Jepang kalah perang, maka kami pulang ke rumah masing-masing.

Karena saya lama di asrama , pulang ke rumah mendapat cercaan dan ejekan, dan sampai detik ini masih terasa. Saya tidak menikah karena banyak yang tidak mau. Sebab, kata mereka, saya bekas nyai-nyai Jepang. Tak lama kemudian, kedua orang tua saya meninggal, Saya hidup dan mencari nafkah dengan menjahit, membantu-bantu orang lain dan kadang dapat pemberian dari saudara-saudara. Orang tua saya meninggal akibat kerja paksa sebagai romusha. Kedua gerobak dan lima kudanya dirampas tentara Jepang. Pada waktu Jepang dikalahkan sekutu, kedua orangtua saya sudah dalam keadaan kurus, lalu meninggal dunia. ***





(Pewawancara Mrs. Fumiko Kawata. Juru bicara Mr Koichi Kimura dari
Iidabashi, Chiyodaku, Tokyo 102, Jepang )




http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/13774














Jugun Ianfu: Kesaksian Mardiyem
Pengalaman yang Diingkari

Juliani Wahjana

28-03-2007

mardiyem



Mardiyem alias 'Momoye'
Tiada yang lebih menyakitkan dan merendahkan ketika pengalaman pribadi seseorang dinyatakan tidak benar dan bahkan diingkari. Namun itulah yang terjadi dengan para perempuan eks Jugun Ianfu, para perempuan yang dipaksa menjadi budak seks oleh militer Jepang pada masa Perang Dunia II.

Awal bulan Maret, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengatakan tidak ditemukan bukti-bukti terjadinya pemaksaan terhadap para perempuan untuk menjadi budak seks. Itu merupakan pernyataan yang menyakitkan dan sekaligus mengingkari pengalaman para perempuan itu. Bukan hanya itu saja, pernyataan tersebut juga mengingkari bukti-bukti sejarah yang ada.

Pernyataan Perdana Menteri Abe ini menyulut kemarahan di negara-negara seperti Cina, Korea, Filipina, dan juga Belanda yang sejumlah warganya dulu di Indonesia juga menjadi korban. Sejarawan menyatakan sekitar 200 ribu perempuan dari Korea, Cina, Filipina, Taiwan, dan Indonesia dipaksa menjadi budak seks untuk melayani tentara Dai Nippon pada waktu itu. Apabila Perdana Menteri Abe sekarang menyatakan tidak ada paksaan, berarti 200 ribuan perempuan itu semuanya berbohong berramai-ramai tentang pengalaman mereka?



Jugun Ianfu Indonesia
Di Indonesia sendiri terdapat sekitar 1500 perempuan eks jugun ianfu yang sebagian besar dari mereka sudah berusia lanjut bahkan telah meninggal dunia. Perjuangan yang mereka lakukan untuk menuntut keadilan serta pengakuan tidak saja melelahkan dan lama, tapi mereka juga nyaris berjuang sendirian karena sampai saat ini tidak nampak adanya dukungan dari pemerintah terlebih pengakuan terhadap mereka.

‘Mungkin ini disebabkan isu ini sangat politis sekali karena berkaitan dengan pemerintah Jepang yang tidak dipungkiri lagi memberi bantuan dan hibah terbesar buat Indonesia. Jadi mungkin pemerintah takut apabila menyikapi isu ini maka bisa berdampak pada sisi policy Jepang sebagai negara pendonor terbesar bagi Indonesia'. Demikian tanggapan Estu Fanani dari LBH Apik, anggota Jaringan Advokasi Jugun Ianfu.



Kisah ' Momoye'
Salah satu eks Jugun Ianfu di Indonesia yang masih gigih berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan keadilan adalah Ibu Mardiyem. Tahun 1943, Mardiyem ketika itu masih seorang remaja berusia 13 tahun. Ia telah yatim piatu pada waktu itu. Ibunya meninggal ketika ia masih bayi dan ayahnya menyusul sepuluh tahun kemudian. Mardiyem kecil yang hobi menyanyi ini menyangka akan diajak masuk dalam kelompok sandiwara ketika tentara Jepang melakukan pendaftaran untuk anak-anak perempuan. Mardiyem kecil tidak merasa curiga ketika ia harus menjalani pemeriksaan kesehatan.

Mardiyem bersama 48 anak perempuan lainnya dibawa ke Kalimantan atau Borneo pada waktu itu. Seminggu sesampainya di Banjarmasin Mardiyem tidak dipekerjakan di kelompok sandiwara tapi dimasukkan ke hotel Tlawang yang sebenarnya adalah rumah bordil. Mardiyem ditempatkan di kamar nomor 11 dan iapun diberi nama baru, nama Jepang ‘Momoye'. Baru Mardiyem menyadari bahwa ia dan teman-temannya dijadikan apa yang disebutnya ‘orang nakal'.

Oleh karena itu Mardiyem sangat marah apabila dikatakan bahwa dirinya adalah pelacur sebelum dijadikan Jugun Ianfu itu. Mardiyem selanjutnya bertutur bahwa teman-temannya yang dimasukkan di hotel tersebut semuanya menangis. ‘Hati saya remuk. Saya ini dari keluarga baik-baik, lingkungan saya priyayi, kok bisa saya jadi orang nakal', begitu kata Mardiyem sambil menghela napas.

Dari kamar nomor 11 itulah, penderitaan demi penderitaan dialami oleh Mardiyem. Tendangan dan pukulan seringkali diterima dari para tamunya apabila ia berani menolak permintaan tamu Jepangnya. ‘Perlakuan seperti binatang, tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa', demikian Mardiyem. Bahkan perlakuan seperti ini masih saja berlangsung ketika ia telah hamil lima bulan dan ia sendiri tidak mengetahuinya. Ia harus menggugurkan kandungannya itu. ‘Perut saya ditekan, sakitnya bukan main dan ketika keluar ia masih menggeliat-geliat', demikian tutur Mardiyem sambil matanya menerawang ke langit-langit rumahnya di Yogyakarta. Akibatnya, kandungan Mardiyem rusak sehingga ia tidak bisa lagi menghasilkan keturunan.


Paksaan
Mungkin saja paksaan seperti yang dimaksudkan Perdana Menteri Abe itu berbentuk laras senjata yang diacungkan di depan kepala. Memang hal seperti itu tidak dialami oleh para korban yang pernah memberi kesaksian seperti Mardiyem dari Indonesia atau Zhu Qiaomei dari China. Namun ada perempuan-perempuan Jugun Ianfu dari negara-negara lain yang bersaksi tentang perkosaan beramai-ramai terhadap mereka sebelum dijadikan Jugun Ianfu seperti kesaksian Hwang Geun Joo dari Taiwan. Atau mereka diculik oleh tentara Jepang dan dipaksa menjadi Jugun Ianfu seperti Prescila Bartonico dan Maxima Reagala de La Cruz dari Filipina.

Paksaan dapat mengambil berbagai bentuk yang lebih halus seperti janji-janji akan diberi pekerjaan. Bukankah hal seperti inipun seringkali kita dengar saat ini? Perempuan-perempuan muda yang dijanjikan pekerjaan di luar negeri tapi kemudian dipaksa atau terpaksa masuk dalam pelacuran? Atau dalam situasi serupa tapi tak sama hubungan antara majikan dengan bawahan, penguasa dengan yang bawahan. Apakah dalam relasi yang tidak seimbang seperti ini pihak bawahan berani menentang perintah atasannya?


Sikap Jepang
Sesudah munculnya reaksi keras dari berbagai negara atas pernyataannya itu, maka Perdana Menteri Abe kembali mengeluarkan pernyataan untuk meredam kemarahan. Di depan komisi parlemen pekan ini, Abe mengatakan tetap berpegang pada pernyataan pemerintah tahun 1993 yang diucapkan oleh Kepala Sekretariat Kabinet Yohei Kono pada waktu itu. Pernyataan itu mengakui keterlibatan langsung tentara Jepang dalam mengadakan tempat-tempat penghibur dan memaksa para perempuan menjadi Jugun Ianfu. Sehubungan dengan itu Kono menyatakan maaf.

Perdana Menteri Abe menyatakan tetap berpegang pada pernyataan Sikap Jepang Kono itu tapi menambahkan pula bahwa Jepang tidak akan minta maaf lagi mengenai masalah Jugun Ianfu ini. Tidak berselang lama penjabat Kepala Sekretaris Kabinet Hakubun Shimomura kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial. Ia menyatakan keyakinannya bahwa tentara Jepang tidak terlibat dalam memaksa para perempuan menjadi budak seks. Sebagian pendukung Abe yang konservatif berpandangan bahwa para Jugun Ianfu itu adalah pelacur yang dibayar untuk pelayanannya.




http://indonesiarobbed.blogspot.com/2008/07/jugun-ianfu-they-rape-our-grandma.html

0 coment:

Posting Komentar

Powered By Blogger